Bandung, koran-samudra.com – ( EPISODE 1) UDARA malam sungguh lengang menyerupa jarum menusuk kulit. Gelisah merangkup karena lagi-lagi mimpi itu terulang kembali. Mimpi yang terjadi akibat peristiwa pada saat aku kecil. Kebakaran gereja menimbulkan kekacauan saat sedang merapal kan doa-doa. Jemaat berperai-perai berusaha keluar. Kebakaran disebabkan perbuatan nakal seorang anak kecil. Dan kemudian ia terkurung di sana. Terbakar. Tidak bisa diselamatkan. Aku bangun dari tidurku, bangkit dari kasur dan menatap diriku di depan cermin. Rambut panjangku yang berantakan, wajahku yang dipenuhi dengan keringat, kantung mataku yang semakin menghitam dan tubuhku yang semakin mengecil. 

Sedikit menghela napas. Lalu berjalan ke dapur menyusuri lorong rumahku, menuruni tangga. Menyalakan lampu dapur mengambil satu gelas air putih dan meminumnya. Aku selalu bermimpi peristiwa yang sama setiap kali aku tertidur. Di mana pun dan kapan pun. Ingatan tentang mimpi itu tidak mudah lepas setelah aku lama terbangun sekalipun. Tatapan anak kecil yang begitu tajam, boneka kecil yang menghantuiku setiap kali aku melihat boneka-boneka biasa lainnya. Kakak dari anak kecil itu yang memiliki kulit putih, tubuh besar, ototnya tumbuh dan suaranya yang berat. Membuatku takut kepada laki-laki. Dan setiap kali aku melakukan ibadah aku takut, bayangan di mimpiku sering muncul.

Gemuruh air dari galon membuat aku tersadar dari ingatan peristiwa mimpi itu. Air sudah habis kuminum, aku mematikan kembali lampu dapur lantas kembali ke kamarku. Kubuka komputer jinjingku menyalakannya dan mengerjakan beberapa tugas kuliah yang belum sempat kubereskan semalam. Aku tinggal sendirian di rumah besar ini. Kedua orang tuaku berdinas di kota lain hanya pulang ketika mereka senggang dan sudah merasa penat dengan pekerjaannya sebagai direktur di perusahaan asuransi.

9 tugas telah beres aku kerjakan. Aku enggan kembali tidur karena aku tak mau bermimpi peristiwa itu lagi, aneh membuatku sangat ketakutan. Di dalam peristiwa mimpi itu Aku takut dikatakan sebagai pembunuh dan juga dibunuh. Aku menyalakan musik dari komputer jinjingku. Menulis cerita “bagaimana hari ini” di dalam buku jurnalku. Aku memiliki sebuah kebiasaan kecil bermula saat aku berumur 12 tahun. Memiliki perasaan lega setelah aku tuliskan semuanya. 

Sering kali aku membawa buku jurnal itu ke mana pun aku pergi. Aku juga menuliskan beberapa agendaku di sana. Ini yang membuatku selalu membawanya. Aku acap kali menuliskan mimpi itu, berharap ada perubahan yang terjadi atau sudah tidak mimpi itu sama sekali. Dan mimpi kali ini juga aku tuliskan di sana. Aku bisa menuliskan semuanya di sana. Tanpa harus ketakutan ada yang membacanya toh aku hidup sendiri. 

Lenganku sudah mulai kebas. Kuakhiri ceritaku malam ini, dan aku masih berusaha melakukan segala hal agar aku tidak tertidur. Beranjak dari kursi tempatku duduk. Berjalan ke arah lemari bukuku. Dan mengambil sebuah buku kumpulan cerpen ‘Malam Terakhir’ lantas membacanya.

Tak terasa secercah cahaya masuk lewat jendela. Aku buka gorden jendela kamarku menatap ke arah luar. Orang-orang lalu-lalang berjalan ke arah kantor. Pagi ini ditemani tetesan-tetesan air hujan. Tampaknya langit sedang bersedih. 

Kulihat di depan kamarku anak-anak kecil berjalan bersama orang tuanya sambil mengenakan jas hujan warna-warni terpandang gembira memainkan kobakan air di jalanan. Diloncatinya kobakan tersebut menimbulkan cipratan air dan mereka tertawa, sementara para ibu berteriak menyuruh mereka berhenti. Tentu saja mereka pura-pura tuli dan kembali melakukannya.

Aku kembali teringat anak kecil yang ada di mimpiku. Jauh seperti anak-anak kecil tadi. Mungkin kelakuan nakalnya sama, tetapi tak ada raut senang di wajahnya. Melainkan kebencian terpandang di wajahnya. Terlarut aku mengingat anak kecil di mimpiku. Sehingga tak sadar di bawah sana ada seorang anak kecil berjalan sendirian, memakai jas hujan dan membawa boneka. 

Dia melihatku dan tersenyum aneh, matanya meruncing dan astaga aku melihat boneka yang dipeluknya mirip sekali dengan boneka yang ada di mimpiku. Aku memusatkan pandanganku ke boneka itu berharap ada perbedaan, tetapi nihil. Boneka itu serupa, tidak ada perbedaan sama sekali. Segera aku menyesarkan pandanganku dari anak kecil tersebut dan berusaha tetap biasa saja agar gelagat ketakutanku tidak diketahuinya…..Bersambung ***editor

Masih penasaran dengan cerita Sebuah Mimpi Anak Kecil karya Dinda Aina??? Yukkk stay terus hanya di koran-samudra.com

Tentang penulis:

Dinda Aina. Lahir di Bandung 16 April 2003. Seorang pustakawan Sarang Buku Ciwidey dan anggota Kawah Sastra Ciwidey dan Prosatujuh Dapat ditemukan di sosial medianya @dindaainaaa dan dindaainawordpress.com