Pulau Lembeh Sulawesi Utara. Foto: Pesona Indonesia
Tiba di sana, disambut sayup-sayup suara penghuni hutan mangrove yang beradu dengan desau angin pantai kadang diselingi pemandangan kecipak air akibat ratusan ikan kecil berkejar-kejaran di bawah permukaan air. Tampak dua buah gugusan bukit hijau berbentuk gerbang, seolah-olah dibuat spesial oleh tangan Sang Pencipta untuk melindungi masyarakat pesisir.
Konon, menurut penjaga tiket Ekowisata Mangrove Pintu Kota Pulau Lembeh yang merupakan warga kampung Pintu Kota, gerbang bukit itulah yang menjadi tempat perlindungan, ketika masyarakat di sini melakukan perlawanan terhadap penjajah di masa lalu. Pulau Lembeh, Perisai Kota Bitung.
Pulau Lembeh yang menurut cerita dari masyarakat setempat memiliki arti “yang tersisa atau tertinggal.” Dunia internasional lebih mengenal Pulau Lembeh sebagai selat “Surga untuk Fotografi Makro Bawah Laut.” Penamaan ini diberikan karena melimpahnya biota laut mini yang unik dan spesial, hidup sehat di Perairan Selat Lembeh.
Menurut laman Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, biota laut unik yang telah tertangkap kamera mereka, antara lain Nuribranch (siput laut), Whip Coral (Koral Cambuk), SoftCoral, Bintang Laut Bantal, Pipefish (Tangkur Buaya), Teripang Raksasa, Sun Coral (Tubastrea aurea), Torch Coral (Caulastrea Furcata), Lili Laut, dan Cacing Pohon Natal.
Jika sempat menjelajah Pulau Lembeh yang berluas 5.040 m persegi diduga pulau ini merupakan sisa kaldera dari gunung purba bagian timur setelah letusan besar pada kala tersier sebagaimana dikutip dari www.mgi.esdm.go.id. Oleh karena itu bentuknya menyerupai setengah lingkaran. Sekaligus berfungsi sebagai perisai Kota Bitung dan memang membentengi sebagian besar wilayah Kota Bitung dari terjangan ombak laut.
Di Pulau Lembeh kita akan menemui jalanan beraspal berkelok-kelok, naik-turun dan tak jarang menemui jurang di sisinya. Juga bisa ditemui tempat wisata antara lain Monumen Trikora, Pantai Serena, Pantai Kahona, dan Patung Tuhan Yesus Memberkati. Menurut data BPS Pemkot Bitung tahun 2014, terdapat banyak titik penyelaman, diperkirakan kurang lebih 95 spot tersebar di perairan Pulau Lembeh.
Cara Mencapai ke Pulau Lembeh
Ketika penulis hendak menyeberang ke Pulau Lembeh dari Pelabuhan Pulau Bitung dengan kapal feri,terlihat perairan di pelabuhan sangat tenang dan alami. Hingga kapal-kapal kecil kayu nelayan pun keluar-masuk dengan leluasa. Sangat berbeda pada bagian yang menghadap ke bagian luar Pulau Lembeh, arus airnya begitu kuat karena berhadapan langsung dengan Laut Maluku dan Samudera Pasifik.
Untuk menjangkau Pintu Kota Pulau Lembeh dari Pulau Bitung ada dua cara. Jika hendak membawa mobil atau motor, menyeberanglah menggunakan kapal feri karena lebih nyaman dan aman. Jika tidak membawa kendaraan, bisa menggunakan kapal nelayan atau kerap disebut “taksi” kapal untuk satu kali menyebrang sambil berdesakan dengan penumpang lain. Sempat terlihat motor bisa diangkut perahu kayu ini.
Namun demikian penulis sangat tidak menyarankan wisatawan menggunakan angkutan “taksi” kapal utamanya mengingat faktor keamanan yang tidak terjamin. Penulis lebih menyarankan menggunakan kapal bermotor tempel apalagi alat transportasi ini bisa kita sewa selama satu hari untuk mengantarkan kita ke beberapa tempat wisata yang terletak di daerah pantai. Bahkan untuk menjangkau Pantai Serena yang terkenal dengan batu berlubang.
Ekowisata Mangrove Pintu Kota
Pintu Kota terletak di Pulau Lembeh, Bitung, Sulawesi Utara. Banyak orang yang tidak mengetahui tempat wisata dengan luas 4 hektar yang diresmikan pada 11 November 2015 ini. Di Desa Ekowisata Mangrove Pintu Kota tumbuh 4 macam tanaman bakau yaitu, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Soneratia caseolaris dan Soneratia alba.
Mengenai fasilitas, disediakan tempat parkir kendaraan roda empat, walau terbatas. Terdapat trek atau jalanan terbuat dari kayu yang dibangun mulai dari pantai menembus hutan mangrove mengarah ke gerbang Pintu Kota.
Tampak beberapa gazebo bagi wisatawan yang ingin duduk beristirahat sambil menikmati pemandangan laut. Tak lupa, tersebar di beberapa titik, tempat sampah agar wisatawan tidak membuang sampah sembarangan. Toilet juga tersedia di bibir pantai, sebelum pintu masuk. Harga tiket dibanderol Rp2.500/orang.
Pada saat kita melihat ke bawah ke arah permukaan air maka kita akan menikmati pemandangan berupa jalanan titian kayu atau gazebo yang tepat menghadap gerbang Pintu Kota. Juga, tampak Ikan-ikan kecil dalam jumlah besar hilir mudik berenang bersamaan dalam satu rombongan. Kalau tidak diperhatikan jelas, gerakan mereka seolah-olah ombak kecil yang timbul akibat hembusan angin.
Situasi di pantai, kita dapat merasakan angin yang kerap berhembus kencang. Saking kencangnya angin berhembus, botol air mineral yang penulis coba letakkan secara tegak selalu saja terjatuh di lantai. Tetapi riak-riak air kecil adalah hasil momentum mereka yang terus bergerak dan tak jarang merubah manuver secara mendadak. Sungguh atraksi sederhana namun menghibur.
Sejarah Terbentuknya Ekowisata
Di area ini terdapat kampung nelayan yang hidup dikelilingi vegetasi tanaman bakau. Sebelumnya ada oknum masyarakat di Pintu Kota kerap menebangi tanaman dikotil hidup di air payau alias tumbuhan mangrove. Kayu yang telah ditebang bertujuan dipergunakan mulai dari bahan membangun rumah tinggal mereka sampai hanya menjadi kayu bakar semata. Ulah mereka mengakibatkan hasil tangkapan ikan jauh berkurang. Wajarlah, karena tanaman mangrove adalah tempat ideal ikan bertelur.
Untung pola pikir masyarakat setempat bisa diubah dengan cara memberikan kepada mereka pendidikan dan penyuluhan yang diberikan oleh berbagai pihak. Sampai akhirnya dikucurkan dana dari Coastal Community Development Programme (CCDP)-International Fund for Agricultural Development (IFAD) bekerjasama dengan Kementrian Kelautan dan Perikanan serta dengan dukungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bitung dikucurkan untuk pembangunan desa ekowisata Mangrove Pintu Kota beserta fasilitasnya dalam waktu 3 tahun.
Melalui program CCDP-IFAD masyarakat Pintu Kota diberikan bekal studi banding, diikuti wilayah ini dijadikan model percontohan di 12 kota di Indonesia untuk ekowisata. Program CCDP-IFAD bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan habitat ikan dan menjaga hutan mangrove yang mempunyai banyak manfaat seperti mencegah abrasi, menahan potensi tsunami, serta menahan ombak. (K-LM)