Suasana pembangunan Plaza Selatan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Senin (20/1/2020). Pemprov DKI Jakarta melakukan revitalisasi kawasan Monas dengan menebang kurang lebih 190 pohon untuk dibangun plaza yang akan dilengkapi dengan fasilitas publik yang ditargetkan selesai pada Februari 2020. ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/ama.
Suasana pembangunan Plaza Selatan Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, Senin (20/1/2020). Foto : ANTARA FOTO/Aprillio Akbar

Hasrat Presiden Soekarno tak terbendung. Setelah ibu kota negara Indonesia berpindah, dari Yogyakarta ke Jakarta, Soekarno berhasrat mewujudkan mimpi besarnya. Sekitar 1950-an, ia menginginkan Indonesia memiliki simbol kebanggaan seperti Prancis dengan Menara Eiffel-nya.

Hasrat itu dia ungkapkan kepada orang-orang dekat. Dalam pikiran Soekarno, bangunan itu nanti berbentuk tugu yang menjulang tinggi. Tugu itu nanti akan menjadi simbol perjuangan dan pemantik patriotisme dan heroisme bangsa Indonesia.

Sokarno menginginkan tugu itu dibangun di dekat Istana Negara agar bisa dilihat oleh tamu-tamu negara yang datang. Untuk mewujudkan hasrat Bung Besar–julukan Soekarno–pemerintah pada 17 September 1954 membentuk panitia yang diketuai Sarwoko Martokoesoemo, pekerja swasta yang dalam versi Wali Kota Jakarta periode 1953-1959, Sudiro disebut sebagai penggagas awal Monas.

Setahun setelah dibentuk, panitia mengadakan sayembara desain tugu itu. Dari lomba itu terkumpul 51 desain. Dari 51 desain itu, panitia hanya tertarik dengan satu desain yang dianggap memenuhi kriteria. Desain itu hasil karya Frederich Silaban.

Desain Silaban ini kemudian ditunjukkan ke Soekarno. Soekarno kurang sreg. Menurut Soekarno jika tingginya 45 meter, tugu itu terlalu pendek. Soekarno menghendaki tugu itu harus terlihat menjulang dan gagah. Tingginya harus lebih dari 100 meter, tahan gempa, dibuat dari bahan-bahan pilihan agar tak tergerus zaman.

“(Bangunan) itu harus mencerminkan hal yang bergerak, yang dinamis dalam satu bentuk daripada meteri yang mati,” kata presiden pertama itu (Yuke Ardhiati, Bung Karno Sang Arsitek, 2005).

Bung Karno juga menghendaki bangunan itu nanti ada museumnya, ada emas murni di puncaknya, dan harus ada liftnya agar pengunjung bisa sampai di ketinggian dan melihat Kota Jakarta.

Keinginan itu membuat panitia pusing tujuh keliling. Sayembara pun kembali digelar. Sebanyak 136 desain masuk pada sayembara kedua ini. Namun lagi-lagi Soekarno menganggap tak ada satu pun desain yang sesuai dengan hasratnya.

Oleh karena tak ada yang sesuai dengan gagasan si Bung, pemerintah menerbitkan Keppres Nomor 214 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusumah, Komandan KMKB Jakarta Raya.

Rancang bangun tugu dibuat arsitek terkenal Indonesia, yaitu Soedarsono, dan penasihat konstruksinya adalah Profesor Dr Ir Roosseno. Soekarno meminta Soedarsono menyempurnakan desain yang sudah dibuat Silaban.

Sesuai dengan hasrat si Bung, bangunan itu berbentuk tugu yang tegak berdiri dengan cawan sebagai wadah di bagian bawahnya. Soekarno rupanya sreg dengan revisi yang dilakukan Soedarsono.

Tepat pada 17 Agustus 1961, Soekarno menandai pembangunan tugu di atas lahan seluas 80 hektare di seberang Istana Negara, Jakarta Pusat. Pembangunan tugu ini baru selesai pada 1975 atau butuh 14 tahun setelah Soekarno menandai awal pembangunannya.

Menurut sejarawan JJ Rizal, saat hendak membangun Tugu Monas 132 meter itu Soekarno mengambil konsep taman di keraton Jawa. Taman, dalam konsep keraton Jawa adalah tempat untuk kontemplasi.

Soekarno membayangkan, ketika masyarakat berkunjung ke Monas, mereka bisa merenungkan bagaimana perjuangan para pendahulunya. Ada semangat patriot dan kebanggaan.

Tak salah kemudian jika Soekarno menginginkan di Tugu Monas itu ada museumnya yang berisi diorama jejak-jejak pahlawan. Menurut Rizal, diorama itu semacam garden of heroes, sebuah taman untuk mengenang pahlawan-pahlawan nasional.

Di tugu itu ada juga ruang bernama ruang kemerdekaan. Di ruang ini pengunjung dapat mendengar lagu Indonesia Raya sambil melihat Bendera Pusaka. Jika pengunjung naik ke puncak, pengunjung bisa melihat bagaimana luasnya Indonesia.

“Jadi (kawasan Monas) itu sebenarnya untuk ruang semedi,” katanya.

Dalam perjalanannya, kawasan Monas ini berkali-kali mengalami perubahan fungsi dan wajah. Gubernur Ali Sadikin (1966-1977) pernah memanfaatkan kawasan ini untuk Jakarta Fair pada 1969. Namun itu tak lama. Ali Sadikin kemudian memindahkan Jakarta Fair ke kawasan Ancol.

Perwajahan kawasan Monas juga pernah dilakukan di era Sutiyoso (1997-2007). Kawasan Monas yang sangat luas kala itu memang menjadi magnet bagi siapapun, termasuk sempat jadi area pedagang kaki lima.

Jika hari kerja, kawasan itu juga menjadi tempat mangkal bus-bus jemputan instansi yang ada di kawasan Medan Merdeka. Melihat pemandangan yang ada di seberang kantornya itu, Bang Yos–panggilan Sutiyoso–mencanangkan program pemagaran. Langkah itu menuai banyak protes. Namun, Bang Yos jalan terus. Sekeliling Monas berdiri pagar besi setinggi lebih dari dua meter.

Keinginan Bang Yos untuk mengontrol kawasan itu terwujud. Setelah pagar berdiri, tak ada lagi bus-bus atau kendaraan yang parkir morat-marit. “Pemagaran itu bukan untuk mematikan, kenyataannya memang kita nggak bisa mengamankan kawasan itu karena lubangnya terlalu banyak,” kata Bang Yos.

Saat Fauzi Bowo menjabat Gubernur DKI (2007-2012) perubahan juga sempat dilakukan. Foke–sapaan Fauzi Bowo–memang tak melakukan perubahan fisik. Saat itu ia hanya ingin Monas yang menjadi landmark Jakarta sebagai ibu kota negara bersih, tak ada sampah berserakan.

Begitu juga saat Joko Widodo menjabat. Saat itu Jokowi memanfaatkan kawasan ini untuk ajang Jakarta Fair seperti yang dilakukan zaman Bang Ali. Namun itu tak lama. Saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat menjabat Gubernur DKI. Tak ada perubahan mencolok yang dilakukan. Ahok saat itu hanya membangun kios untuk pedagang di sekitar kawasan Monas. Sementara itu, Djarot kembali mensterilkan Monas dan mengaktifkan kembali Air Mancur Menari.

Heboh dan kegaduhan muncul saat Gubernur Anies Baswedan melakukan revitalisasi kawasan itu. Di kawasan itu, Anies ingin ada penambahan beberapa fasilitas tempat parkir, taman pandang istana, dan taman aspirasi.

Namun keinginan Anies itu ditentang. Masyarakat memprotes langkah pemprov DKI yang menebang 190 pohon yang sudah tumbuh rimbun. Ditambah saat diketahui pemerintah DKI tidak mengantongi izin dari Dewan Pengarah, sebagai lembaga yang memegang kendali atas kawasan Monas itu.

Pembangunannya memang sempat dihentikan Dewan Pengarah tapi kemudian mereka menyetujui pembangunannya dilanjutkan. Kini kita tinggal menanti wujud revitalisasi yang dilakukan Gubernur Anies itu.

Apakah perubahan wajah kawasan itu akan bisa dijadikan taman kontemplasi ataukah hanya sekadar jadi taman aspirasi?

Penulis: Fajar WH
Editor: Firman Hidranto
Sumber   : https://indonesia.go.id/ragam/pariwisata/ekonomi/tempat-semedi-itu-bernama-monas